Bameti dan Balobe : Tradisi Pemanfaatan Sumberdaya Laut yang Berkelanjutan

 

Balobe

Waktu menunjukan 02.00 WIT,  ketika Ledrik Sawy (42 tahun) memompa lampu petromak di atas kole-kole (sejenis perahu tradisional Papua yang terbuat dari satu buah kayu utuh), dan secepat kilat Jonathan Wega (38 tahun) mengayuh pengayuh, untuk mengarahkan haluan menuju pulau tiga di depan kampung Wamesa di Kaimana, Papua Barat.

Dini hari ketika air laut surut, beberapa masyarakat turun ke laut balobe. Balobe adalah istilah yang digunakan masyarakat pesisir Papua untuk kegiatan mencari hasil laut dengan menggunakan alat penikam yang disebut dengan kalawai. Kalawai  merupakan sebuah tombak yang digunakan untuk menikam buruan atau mangsa yang terbuat dari kayu dengan ujungnya terdapat besi tajam bermata tiga. Aktivitas balobe dilakukan pada malam hari, terutama ketika bulan gelap. Biasanya, masyarakat balobe ikan, teripang, lobster, dan terkadang gurita. “Ketika bulan gelap, hewan laut terutama ikan tidak banyak melakukan perpindahan secara cepat” tutur Ledrik Sawy. Di saat itulah kesempatan untuk menikam ikan dengan bantuan penerangan lampu petromak.

Balobe sudah dilakukan sejak dahulu sebelum alat tangkap ikan berkembang. Sebenarnya, Balobe merupakan penangkapan yang ramah lingkungan, karena tidak merusak karang, ataupun menangkap berlebihan (over eksploitasi). “Balobe hanya untuk makan sehari-hari saja” ujar Jonathan Wega. Namun, jika terdapat kelebihan hasil tangkapan maka akan dijual untuk menambah perekonomian keluarga. Ditambahkannya, masyarakat kampung Wamesa hanya menikam ikan pada awalnya, akan tetapi dengan adanya permintaan pasar untuk hasil perikanan bernilai ekonomi tinggi seperti teripang dan lobster, maka masyarakat turut serta menambahkan hewan-hewan tersebut dalam daftar buruannya.

 

Bameti

Masyarakat Papua pesisir memiliki tradisi turun ke pantai untuk Bameti. Bameti adalah kegiatan memungut kerang-kerangan (gleaning shellfish)  dan udang saat air laut surut “meti” dan pada saat bulan gelap. Bameti merupakan tradisi kuno perikanan tangkap yang hanya menggunakan tangkapan tangan (hand capture) yang masih dipraktekkan hingga waktu sekarang ini. Tradisi yang hadir dalam beradaptasi dengan karakteristik wilayah Papua pesisir yang memiliki kontur batimetri yang datar menjorok ke laut, awalnya  dilakukan ketika masyarakat belum mengenal alat tangkap ikan.

Bameti masih menjadi andalan masyarakat pesisir Papua, seperti yang dilakukan masyarakat Kaimana. Tradisi ini tidak membutuhkan keahlian khusus, serta peralatan penangkapan. Hanya butuh pengeruk atau benda pencungkil untuk hasil tangkapan kerang-kerangan, serta keret dan helai lidi pohon kelapa untuk hasil tangkapan udang dan lobster. Caranya cukup mudah, pasang karet pada ujung sapu lidi, dengan teknik menarik dan menembak diarahkan kepada hewan buruan, yaitu udang dan lobster. Biasanya Bameti hanya dilakukan masyarakat Papua untuk memenuhi kehidupan sehari-hari, atau dalam artian bukan mata pencaharian utama seperti nelayan yang keseluruhan hidupnya tergantung pada hasil laut. Bameti lebih pada aktivitas bersama keluarga di waktu luang, serta waktu berkumpul masyarakat kampung di lokasi yang sama. Terkadang, Bameti dilakukan masyarakat Papua untuk bersantai bersama keluarga besar dalam Marga yang sama, dimana hasil tangkapan akan dimasak, serta dikonsumsi di pinggir pantai.

Bameti 1

Alat Tangkap Kalawai

 

Kearifan Lokal dalam Pemanfaatan Sumberdaya Ikan

Kesadaran masyarakat untuk hidup selaras dengan alam sebenarnya sudah biasa dipraktekkan dari leluhur mereka. Perikanan non komersial atau perikanan subsisten merupakan wujud pengaturan dan perlindungan nyata prilaku hidup mereka. Bameti dan Balobe adalah tradisi yang mencerminkan prilaku ramah lingkungan sebagai bentuk budaya masyarakat pesisir Papua. Tidak banyak hasil tangkapan dari kedua metode ini, karena hanya dipakai untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga masyarakat adat suku-suku di Kaimana.

Bameti dan Balobe adalah prilaku konservasionis  produk tempo dahulu, yang rmerupakan perwujudan kearifan lokal. Potret pengetahuan budaya (cultural knowledge) dalam kehidupan sehari-hari massyarakat pesisir Papua dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam ini, nyatanya berdampak sangat signifikan terhadap ketersediaan pangan. Cultural knowledge dipergunakan dalam memahami lingkungan, serta mendorong terbentuknya prilaku budaya yang selaras, seimbang, bersinergi dengan alam.

Dalam Bameti dan Balobe, berlaku aturan tidak tertulis berupa ambil “manfaatkan” seperlunya dan secukupnya saja. Tindakan ini memastikan ketersediaan sumberdaya berkelanjutan bagi generasi penerus. Praktek Bameti dan Balobe merupakan bukti bagaimana masyarakat lokal memanfaatkan sumberdaya mereka dengan peralatan sederhana bahkan tradisional. Sehingga dapat dikatakan contoh pemanfaatan secara arif dan bijaksana yang tercermin dalam budaya kearifan lokal dalam sumberdaya ikan di Kaimana.

Foto 2

Teripang, Hasil Tangkapan Balobe dan Bameti

11539074_10200578912790765_8685446916955644172_o

Kerang-kerangan, hasil dari Bameti

 

Pariwisata berbasiskan Kearifan Lokal Masyarakat Pesisir

Sektor pariwisata masih dalam  proses perkembangan di Kabupaten pemekaran tahun 2003 ini. Hal ini dapat dilihat dari pembenahan yang menunjang kenyaman wisatawan, seperti hotel, dan transportasi. Kaimana yang terletak di Selatan Pulau Papua, yang berhadapan langsung dengan Laut Aru ini, belum begitu banyak dikunjungi wisatawan. Tentu saja, transportasi yang cukup mahal menjadi salah satu alasannya. Untuk menuju Kaimana, penerbangan menggunakan pesawat ATR milik maskapai Wings merupakan satu-satunya yang mendarat untuk melayani jalur lintas Papua dan Maluku. Sisanya, hanya terdapat kapal Pelni yang berlabuh setiap dua minggu sekali.

Dalam kurun waktu lima tahun, sebahagian besar wisatawan yang berkunjung berasal dari luar negeri. Tujuan mereka lebih menfokuskan diri pada wisata menyelam di Teluk Triton, Selat Iris, dan Selat Bicari. Maklum saja, ketiga lokasi tersebut, terkenal dengan keindahan alam bawah airnya yang menakjubkan sehingga para peneliti kelautan dunia menjulukinnya sebagai “Kingdom of Fishes”.

Wajah pariwisata Kaimana perlahan-lahan berubah dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Awalnya menggantungkan diri dari sektor keindahan alam bawah air, perlahan bangkit menunjukan jati diri masyarakat adat melalui budaya, salah satunya adalah atraksi kearifan lokal. Wisatawan asing yang tertarik akan budaya masyarakat pesisir Papua, berkeinginan masuk dan mempelajari bagaimana masyarakat lokal memanfaatkan sumberdaya alamnya. Dalam perjalanan ke Teluk Triton, saya bertemu dengan Mark (45 tahun) wisatawan yang berasal dari Inggris. Menurut Mark, aktivitas masyarakat pesisir Papua sangat menarik. Cara masyarakat lokal menghormatin dan menghargai alam itu sangat luar biasa. Mark yang berprofesi sebagai Konsultant Energi ini menambahkan, begitu tertarik untuk membaur dengan mama-mama Papua Bameti di sepanjang bibir pantai, yang kemudian mengolah hasil untuk dimakan bersama. Merasakan atmosfir lokal itu sesuatu yang beliau tidak bayangkan sebelumnya. “Ini merupakan tradisi masa lampau yang masih dipertahankan” ujar beliau menutup perbincangan kami sore ini.

Lain lagi dengan Jeny (30 tahun), wisatawan yang berasal dari Amerika tersebut begitu antusias ketika diajak untuk Balobe. “Saya sangat penasaran untuk melihat masyarakat lokal menangkap ikan di malam hari”, kata wanita yang berasal dari  Florida ini. Saya bertemu Jeny di pasar tradisional Kaimana, ketika ia berbincang dengan warga Kampung Wamesa. Kemudian, perbincangan kami berlanjut mengenai budaya masyarakat pesisir Kaimana dalam memanfaatkan sumberdaya alam, yang diakhiri ajakan dari Ledrik Sawy untuk berkunjung, serta ikut serta dengan beliau Balobe.

Menurut Jeny, turut serta Balobe bersama masyarakat lokal menjadi destinasi wisata unik. Belajar bagaimana masyarakat memperlakukan laut dengan tetap memperhatikan keberlanjutannya, sangat sarat dengan nilai-nilai konservasi yang banyak digaungkan konservasionis saat sekarang ini. Tidak semua orang dapat merasakan dan melihat bagaimana masyarakat lokal memperlakukan alam dengan bijaksana. Dengan adanya keterlibatan wisatawan dalam budaya kearifan lokal, tentu memberikan pandangan baru, bahkan ide-ide segar buat pengunjungnya dalam menghargai alam. Ini bukan tentang bagaimana cara pandang luar untuk melihat lebih dalam budaya masyarakat pesisir, namun lebih kepada bagaimana kita menyadari kita membutuhkan alam untuk hidup dan berkembang. Menutup perjalanan saya di awal tahun 2016 di Selatan Pulau Papua, saya menyadari bahwa “Manusia menjaga, alampun memberi”.

Sasi Enggama : Tradisi Adat Menjaga Kerajaan Ikan di Kaimana

Tanah adalah Ibu, Laut adalah Bapak. Begitu filosofi orang Papua pesisir, yang acap kali saya dengar ketika berjalan keliling kampung pesisir di Provinsi Papua Barat. Mereka mengenal, serta mempercayai tanah dan  laut yang memberikan denyut nadi kehidupan.

sasi 4

Pergi untuk kembali. Kata-kata yang mewakilin perjalanan merekam kearifan lokal suku Koiway di Kaimana, Papua Barat, untuk sekian kalinya saya jelajahi dalam kurum waktu tiga tahun terakhir. Kabupaten yang dikenal sebagai “Kerajaan Ikan dari Timur Indonesia” ini, menyimpan sejuta pesona keindahan bentang alam pulau-pulau karst, sejarah, budaya, serta keindahan alam bawah air yang tiada duanya. Belum lagi ditambah penyematan Kota senja indah yang sempat menarik Surni Warkiman menggubah lagu “Senja di Kaimana” pada tahun 1970-an, membuat Kabupaten ini kian bersinar.

Meskipun belum setenar saudaranya di Kabupaten Raja Ampat, namun Kaimana banyak dilirik oleh para peneliti dunia dikarenakan kekayaan sumberdaya perairan yang sangat fantastis. Bayangkan saja, Kaimana merupakan penyumbang biomassa sumberdaya perairan terbesar di Asia Tenggara, yaitu 228 ton per kilometer persegi. Serta memiliki kelimpahan ikan yang tertinggi yaitu 995 jenis ikan, dimana 14-16 diantaranya merupakan jenis baru dan endemik, 471 jenis karang, dan 28 jenis udang mantis, berdasarkan hasil survei kelautan yang dilakukan oleh Conservation International (CI) Indonesia pada tahun 2006. Hasil ini belum termasuk penemuan-penemuan terbaru yang belum teridentifikasi dalam kurun waktu delapan tahun terakhir.

Potensi laut Kaimana sangat luar biasa. Disini dapat ditemukan sejumlah hewan karismatik seperti Hiu Paus (Rhincodon typus), Hiu Berjalan (Hemiscyllium henryi), Dugong, Manta, Paus Bryde, P. Nursalim flasher wrasse, dan lainnya. Yang paling menarik adalah penemuan 330 jenis ikan di lokasi yang sama, yaitu Tanjung Papisoi, dimana ini memecahkan rekor dunia yang pernah  dilakukan oleh bapak ikan dunia Gerald Allen ketika meneliti Raja Ampat dan membukukannya. Jika Raja Ampat terkenal karena keragaman terumbu karangnya, maka Kaimana dikenal sebagai “Kingdom of Fishes” karena kelimpahan ikan tertinggi di Indonesia.

sasi 6

Hiu Paus

img_5809 (1)

Hiu Berjalan

Scholling fish di Teluk Triton, Kaimana. CI_Ronald Mambrasar copy

Schooling Fish di Teluk Triton

 

Sasi Enggama

Tradisi yang hadir sebagai bentuk kearifan lokal dalam pemanfaatan sumberdaya alam, merupakan jawaban dari terjaganya kekayaan sumberdaya perairan di Kaimana. Masyarakat Suku Koiway di Kaimana mengenal tradisi Sasi Enggama. “Sasi Enggama adalah tempat ikan baku kawin”, kata N. Kamakaula, pemilik hak ulayat perairan laut dari Kampung Namatota.

Menurut Sasi Enggama, suatu daerah akan ditutup dalam jangka waktu yang telah ditentukan berdasarkan kesepakatan pemilik hak ulayat perairan laut, Ketua Adat, serta Tokoh-tokoh masyarakat setempat. Biasanya, selama 1 atau 2 tahun Sasi Enggama dilakukan, masyarakat dilarang mengambil hewan laut tertentu yang bernilai ekonomi tinggi seperti teripang, lola ( sejenis kerang laut), batulaga (sejenis siput laut), dan lobster. Penutupan diawalin upacara ritual tradisional menggunakan simbol buah kelapa.

Waktu dimana masyarakat dapat mengambil hasil laut yang dilarang disebut buka sasi. Sebelum berlangsungnya buka Sasi, terdapat upacara adat tersendiri yang dipimpin oleh Ketua Adat setempat. Ritual buka Sasi  menggunakan simbol-simbol tertentu seperti sirih, pinang, serta lola atau batu laga yang diletakkan di media datar seperti piring, lalu di tumpahkan ke laut dengan sebelumnya memanjatkan doa-doa untuk kelestarian alam.  Ritual ini melambangkan ucapan terima kasih kepada Sang pencipta atas berkah hasil laut, serta simbol pembayaran kepada alam. Buka Sasi berlangsung selama dua pekan. Menurut Abdullah (40 tahun), masyarakat  Kampung Namatota Distrik Kaimana, selama proses buka Sasi, warga masyarakat bisa mengumpulkan hasil lola, teripang atau batu laga sebanyak 3 kuintal atau dapat di perkirakan memperoleh hasil sebesar Rp 7 juta. Sedangkan untuk ukuran hewan yang bisa diambil dan ditinggalkan, diatur berdasarkan kesepakatan pemilik hak ulayat laut dan Ketua Adat.

Sasi Enggama dilakukan secara turun temurun oleh masyarakat yang tinggal di daerah pesisir Kaimana. Jika terdapat pelanggaran Sasi, maka dikenakan denda sesuai aturan adat. Yang mengawasi pelaksanaan Sasi adalah Ketua Adat, dibantu oleh keturunan Raja. Dahulu, Sasi bersifat supranatural, sehingga pelanggarnya akan mengalami kejadian hal-hal di luar kewajaran. Hal ini terkait ritual tutup sasi yang menggunakan sumpah kepada alam  semesta. Jika simbol Sasi sudah ditanamkan, maka pelanggarnya akan mendapatkan sangsi di luar kewajaran tersebut. Ada juga pelanggar yang diberikan hukuman adat berupa membayar denda adat, atau dipermalukan dihadapan umum. Namun, seiring berkembangnya agama hal tersebut mulai luntur dan menjadikan denda sejumlah uang sebagai sangsi pelanggaran.

 

Sasi 2

Molo Teripang

 

Sasi Enggama, Atraksi Pariwisata Budaya Laut

Ada yang menarik ketika ritual buka Sasi dilakukan. Prosesi pemanenan hewan laut Sasi dilakukan menggunakan metode tradisional, yaitu molo. Molo adalah aktivitas menyelam untuk mengambil hasil di dasar laut, tampa menggunakan alat bantu pernafasan atau tabung menyelam. Biasanya, masyarakat melakukan molo hasil laut hanya menggunakan peralatan tradisional, yaitu kacamata molo yang terbuat dari kayu untuk bingkainya, serta kaca diambil dari tutup botol. Aktivitas molo ini banyak menarik wisatawan terutama dari luar negeri untuk mencoba. Jennet (34 tahun) misalnya, wisatawan dari Kanada ini begitu antusias bersama-sama masyarakat molo teripang di kedalaman 5 meter. Menurut Jennet, Molo ini hampir sama seperti olahraga free diving yang sedang menjadi trend bagi penggiat olahraga bawah air dunia saat ini. Jika pada free diving menggunakan masker dan fins, maka molo lebih sederhana bahkan sangat tradisional tampa menggunakan peralatan yang mencerminkan budaya masyarakat setempat.

Di samping itu, ritual buka Sasi juga menampilkan tari-tarian khas pesisir Papua. Tarian yang didampingi dengan alat musik pukul tifa, menggiringi prosesi buka Sasi, nyatanya banyak memikat wisatawan ikut serta berbaur dengan suasana budaya lokal.

Pada awalnya, Sasi Enggama bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada alam memulihkan diri. Sasi laut akan memberikan kesempatan ikan bertelur dan memijah hingga menjadi hewan siap tangkap. Namun, seiring berjalannya waktu, tradisi yang berangkat dari budaya menjaga keseimbangan laut, berubah wujud menjadi atraksi yang memikat wisatawan baik dari dalam dan luar negeri. Tradisi ini memiliki dua sisi yang saling melengkapi, dimana satu sisi berfungsi sebagai pengatur keseimbangan alam, serta sisi lainnya meningkatkan perekonomian masyarakat melalui pariwisata.

triton 8

Teluk Triton

 

Sasi, Konservasi dan Wajah Pariwisata Bahari Kaimana

“Dari semua terumbu karang tropis yang telah kita lihat dalam kurun waktu 70 tahun menyelam, Teluk Triton di Kaimana merupakan urutan pertama pada daftar kami sebagai pemandangan teratas untuk keanekaragaman ikan dan karang lunaknya”, ujar Burt Jones dan Maurine Shimlock yang berprofesi sebagai fotografer underwater dunia.

Kaimana adalah salah satu dari tiga wilayah di Provinsi Papua Barat, yang saat ini  dianggap oleh ahli biologi kelautan menjadi pusat dari Segitiga Terumbu Karang, yang memiliki jumlah ikan dan jenis karang tertinggi daripada di tempat lain di planet ini. Dalam sebuah laporan Pemerintah Indonesia melalui Geografi Prioritas untuk Konservasi Keanekaragaman Hayati Kelautan di Indonesia, Huffard, Erdmann, Gunawan, 2012, Papua diidentifikasikan oleh ahli biologi kelautan sebagai wilayah prioritas tertinggi untuk konservasi laut karena keanekaragaman hayati laut yang tidak tertandingi, kekayaan habitat, dan ekosistem alam yang relatif utuh.

Pada tahun 2008, Kabupaten Kaimana menyatakan 6000 km persegi sebagai Kawasan Konservasi Laut di sekitar perairan Kaimana dan Teluk Triton. Menyusul di tahun 2013, Kawasan Konservasi Perairan Daerah disahkan menjadi Peraturan Daerah. Ini merupakan hadiah bagi masyarakat adat Kaimana, yang telah mempertahankan kearifan lokal dalam melestarikan sumberdaya alam.

Sebelum konsep konservasi diperkenalkan di Kaimana, masyarakat sudah mengenal kearifan lokal yang dinamakan Sasi Enggama. Sasi, merupakan budaya yang sarat dengan konservasi sumberdaya alam, yang bermuara pada tindakan perlindungan dan pelestarian sumberdaya yang penting bagi kehidupan masyarakat. Tradisi budaya ini merupakan manifestasi prilaku konservasionis dan naturalis untuk mengatur, mengelola, melindungi dan melestarikan sumberdaya alam khususnya sumberdaya pesisir dan lautan. Sasi dan konservasi itu adalah sama. Intinya adalah melakukan pengaturan ruang dan waktu. Hanya saja, Sasi merupakan produk yang terbentuk dari hasil kearifan lokal yang telah mengakar membentuk budaya, sedangkan konservasi adalah konsep baru yang ditawarkan untuk pengaturan suatu tempat atau ruang agar makna kultural yang terkandung di dalamnya terpelihara dengan baik.

Dapat dikatakan Sasi Enggama yang telah dijalankan masyarakat sejak dahulu merupakan kunci sukses terjaganya kekayaan sumberdaya laut di Kaimana. Hal ini tentu sangat memberikan manfaat, mengingat sasi dan konservasi berperan dalam menunjang sektor pariwisata bahari, yang sedang dibangun di Kabupaten yang terletak di Selatan Pulau Papua ini. Penamaan julukan Kerajaan Ikan yang diberikan oleh para peneliti kelautan, sangat pantas disandang Kaimana dengan berlimpahnya kekayaan sumberdaya hayati perairan.

Salah satu titik yang memiliki pemandangan bawah air paling menakjubkan di Kaimana adalah Teluk Triton dan Selat Iris. Di tempat ini, terdapat beribu jenis kelimpahan ikan, serta beberapa hewan endemik seperti hiu berjalan dan hewan karismatik lainnya, seperti hiu paus dan manta. Begitu pun dengan terumbu karangnya yang indah dengan dihuni hewan-hewan kecil seperti nudibranch, udang mantis, berbagai jenis kuda laut, serta hewan lainnya. Tidak ketinggalan pantai esotik nan perawan dengan pasir sebening kristal, atau di Teluk Triton terdapat pantai unik berwarna pink menyala.

Mengutip kata-kata Ketua Dewan Adat Kaimana, yang menyatakan bahwa “Kearifan Lokal hari ini, menentukan masa depan sumberdaya laut kita”, mengakhiri perjalanan saya di Kota Senja Indah Kaimana yang sarat budaya.

 

OLYMPUS DIGITAL CAMERA

Pantai Pink di Teluk Triton

Venu Island, home of the “Ambassador” of Kaimana’s Seas

Seekor induk Penyu Lekang menutup sarang setelah mengeluarkan hampir130 butir telur di Pulau Venu copy

Seekor induk Penyu Lekang menutup sarang setelah mengeluarkan hampir130 butir telur di Pulau Venu

Nesting beach protection

The waves hit the shore, accompanied by strong winds sweeping the small white sand island, only about ​​three football fields in size, southwest of Kaimana, Triton Bay’s gateway city. The village community has named this place Venu Island. Venu means “eggs” in the local Koiway language, and the name represents the eggs laid by hundreds of turtles that nest along the island’s sandy beach. To reach Venu from Kaimana requires a two to three hour journey in a speedboat. Shaped like a bracelet, with a saltwater pool in the middle, Venu is home to many exotic bird species, but the main attraction for conservationists and tourists is turtles.

Venu Island is relatively flat, only about 7 meters above sea level at its highest point, so its entire perimeter and even the inner island are ideal locations for turtles to nest and lay eggs. Three main species of sea turtles nest on Venu: green turtles (Chelonia mydas), hawksbills (Eretmochelys imbricate) and olive or pacific ridleys (Lepidochelys olivacea).

Conservation International (CI) in collaboration with the Center KSDA West Papua, through the Region IV Section KSDA Kaimana, and local indigenous communities conduct monitoring activities on Venu Island. CI initiated the formation of patrol teams to protect against threats, both natural (abrasion, predators) and non-natural (human). Patrol teams will take action against the violators who perform acts that threaten the survival of sea turtles. Data collection activities, team building supervision along with turtle nesting area patrols began in February 2011.

Monitoring and documentation includes determination of which species are nesting, the time (date and hour) of nest building, the predominant location of nests, the size of the nesting turtles, and frequency and the number of eggs produced. Monitoring is preformed every evening at 19.00 and lasts until 23.00.

 

Tete Irisa, Keeping Turtles from Extinction

As usual, every night Irisa Sawoka (60 years old) patrols the island to detect traces of turtles that have climbed to the beach to lay their eggs. Assisted by Yohan (40 years old), CI’s staff monitors the beaches trying to use as little artificial light as possible in order not to disturb the nesting turtles. Tete Irisa pioneered nest protection on Venu Island. Despite the fact that he had experience with protecting turtles, his enthusiasm for the project was not dampened. “Eran Jelepi (green turtles) come up most frequently and lay eggs in any season,” he said while digging a hole to move the turtle eggs to a secure location in front of the checkpoint. Other species are seen in October, a prime nest-building month.

At night, after the turtles are identified, the nests are numbered. The goal is to determine the number of turtles that nest and lay eggs on Venu’s beaches. In the morning, the men, armed with a large bucket, transfer eggs from the nests to a protected area. According to Tete Irisa, removing the eggs prevents predators from opening the nests and increases the likelihood of the hatchlings’ survival. Care is taken to move the eggs swiftly in order not to harm the embryos.

Turtle eggs will hatch and the baby turtles will return to the sea in about 30 to 40 days. “Watching the eggs hatch is a unique experience,” said the Kaimana native. Hatchlings know instinctively not to go down to the beach when it is still light. They often peek from the nest but wait for nightfall to scamper to the ocean. We release our hatchlings around 19:00 to avoid the brunt of predators on land and in the ocean. Just imagine, an average nest produces 180 to 200 eggs, but perhaps only two survive to return to Venu and lay their own eggs! Another good reason for protecting this island and the turtles that come here.”

 

Tukik memulai pengembaraannya di lautan

Tukik, memulai pengembaraannya di lautan

 

Turtles, Their history and Future

Because of the lack of protected turtle nesting beaches, many nesting areas in Indonesia have been exploited to the point where no turtles return to lay eggs. Looting eggs from nests and hunting turtles for their meat has decimated both Indonesia’s and the world’s sea turtle population. According Tete Irisa, the main looters around Venu did not come from Kaimana or its surroundings, but arrived from distant islands where the turtles already had been wiped out.

Around Kaimana, the numbers of turtles nesting on Venu and other islands nearby begin to shrink. Protection has not been easy. Limited means and knowledge about conservation methods are major obstacles. Initiatives between CI and BKSDA to protect turtle nesting beaches now have the support of the local communities and landowners. Based on CI’s data from 2011 through 2013, turtle nestings have increased to about 2,477 individuals. This positive result is due to the cooperation between all stakeholders who are striving to save Kaimana’s ambassador of the seas.

http://birdsheadseascape.com/conservation-science/venu-island-home-of-the-ambassador-of-kaimanas-seas-by-nita-johana/

Newly Discovered Whale Shark Population Brings Tourism Potential to Indonesian Communities

Author : Nita Yohana, Published : http://www.conservation.org

http://blog.conservation.org/2014/08/newly-discovered-whale-shark-population-brings-tourism-potential-to-indonesian-communities/#more-20789

whale shark under fishing platform, Indonesia

Whale shark under bagan (fishing platform) in Indonesia. (© Burt Jones and Maurine Shimlock)

In late 2011, CI’s Mark Erdmann blogged about an exciting expedition tagging whale sharks in Cenderawasih Bay off the northern coast of West Papua, Indonesia. The trip was conducted in collaboration with WWF-Indonesia, Hubbs-SeaWorld Research Institute and the Cenderawasih National Park Authority. Data received from the tags exposed the migratory behavior of these mysterious creatures along Indonesia’s coasts.

In Kaimana, on West Papua’s southern coast, the recent discovery of another whale shark population has triggered similar research, providing us with vital information backing the development of critical regulations to protect these species and support a burgeoning whale shark tourism industry that is both sustainable and benefits local communities.

Gentle Giants

Whale sharks are the largest living fish species, growing up to 18 meters (60 feet) and weighing 20 tons, yet they are known for being among the most gentle of the shark species. With enormous mouths that can be up to 1.5 meters (4.9 feet) wide, these filter feeders’ diet predominantly consists of plankton and small fish like anchovies.

Fishermen on Papua’s coast have long been aware of the existence of these animals. In fact, the sharks frequently approach the bagan (fishing platforms) where the fishers pull up nets of baitfish, hanging around for an easy meal or sometimes sucking fish from holes in the nets

Many fishermen consider the sharks to be good luck. And with an influx of tourists pouring into communities to see the sharks’ feeding activity in person, protecting whale shark populations will be the smartest economic choice for these communities.

Whale shark tourism has been thriving in Cenderawasih Bay since 2010. Yet in Kaimana, the region’s tourism potential is only beginning to be realized.

Kaimana is located in West Papua’s Bird’s Head Seascape, recognized as the global epicenter of marine biodiversity. Since 2011, domestic and foreign tourists in Kaimana have increased, yet the region still lacks infrastructure that could make it a more accessible and popular destination.

While encouraging tourism, it’s also critical to protect the whale sharks from negative impacts resulting from human interaction. The more we know about the behavior of whale sharks, the better we can help local communities value and protect them.

The Research

Up to this point, our understanding of the life cycle of whale sharks remains limited. We know that whale sharks are normally solitary and frequently spend a fair proportion of their time in depths below 100 meters (328 feet).

We also know that they are able to migrate great distances to take advantage of seasonally abundant food sources, around which they tend to briefly gather in large numbers to feed before dispersing again). Most of the sharks observed in these aggregations are young males in the 4-8 meter (13-26 foot) size range — but we don’t know much else. This is why we are conducting this research in Kaimana.

Since December 2013, CI has photo identified 11, satellite tagged four and genetically sampled six whale sharks in Kaimana. The satellite tags record depth, temperature, and light level data (used to estimate location) of the shark’s diving behavior over a certain period of time. The time frame of deployment of these tags varies; some have been programmed to pop off the shark after three months, while other stay on for six.

Every whale shark has a unique spotting pattern on the body, similar to a human’s fingerprint. By taking photo IDs of each individual (the left side of the animal between the gills and the dorsal fin), we hope to learn whether any of the sharks observed in Kaimana are the same ones seen in Cenderawasih Bay.

fisherman feeding whale shark, Indonesia

Fishermen feeding whale shark off of bagan fishing platform. (© Conservation International/photo by Nita Yohana)

please open the link to more information.

Thanks

 

Local Wisdom for Conservation

 

Kaimana, which is located in the southern region of  bird's head, West Papua. Dealing directly with the Arafura Sea, which has a high biodiversity

Kaimana, which is located in the southern region of bird’s head, West Papua. Dealing directly with the Arafura Sea, which has a high biodiversity

 

Local Wisdom

Customs and traditions attached to the life of the Indonesian nation. The cultural approach through local knowledge is an attempt to involve the local community, especially in the conservation and preservation of natural resources. Based on this, the zoning system built in Kaimana based indigenous peoples.

In the arrangement or division, Zoning system of conservation areas in Kaimana, following the Customs and traditions in the community.

Indigenous is a recognized custom, which obeyed and institutionalized , and maintained by the local indigenous people for generations.   While local knowledge is the great value that still exists in the system of people’s lives.

Kaimana- the first Region who use conservation areas based  Indigenous community, which aims to maintain the culture in order to live in harmony with nature, and respect for tradition in the territorial waters of Kaimana.

 

 

community- understand to keep the ocean waters

community- understand to keep the ocean waters

 

Sasi

“Sasi and conservation  have the same meaning”.

Kaimana community has long been applying local knowledge in the use of marine resources, such as Sasi and Sasi Nggama Meti.  Actually, conservation also almost the same like  Sasi, which in its application conservation areas divide the area / zone waters by function and purpose. While Sasi, limiting space and time, as well as the resources utilized.

Conservation  not come to prohibit exploit marine resources such as prohibiting fishing. But, arranged for each region / zone can be put to good use for the purpose of survival of the community.

If in local knowledge, closing an area that should not be exploited known as Sasi Permanent, whereas in Conservation areas known as the  Savings Fish Areas or Food Security.

So, Sasi and Conservation areas  it is the SAME meaning,  just different name . The point is to make arrangements marine areas.