Tradisi tahunan yang lahir dari sebuah penghormatan, mengikat Krama Desa Tenganan Pegringsingan Kabupaten Karangasem, Bali. Ritual Mekare-kare atau Perang Pandan, merupakan bentuk penghormatan terhadap Dewa Indra atau Dewa Perang serta leluhur.
Dengan menggunakan daun pandan berduri, dua orang pemuda desa akan saling bertarung diatas panggung. Duri-duri pandan itu menyayat tubuh keduanya. Bahkan, ada yang luka dan berdarah. Meski begitu, mereka memiliki obat tradisional dari umbi-umbian yang akan diolesin pada luka hingga mengering dan sembuh dalam beberapa hari. Perang Pandan biasanya dilakukan oleh lelaki dewasa, namun sedari cenik (anak kecil), sudah diperkenalkan melestarikan budaya ini.
Tradisi ini dilakukan setiap bulan kelima penanggalan Desa Adat Tenganan, diawali dengan serangkaian prosesi adat, dan pada puncaknya akan digelar Perang Pandan. Puncak perang Pandan dibuka dengan doa yang dilakukan di Pure Desa, selanjutnya menggarak gong keliling kampung sebanyak tiga kali.
Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat Tenganan adalah Hindu. Mereka tidak mengenal kasta dan meyakini Dewa Indra adalah dewa dari semua dewa.
Tradisi ini dimulai ketika desa Tenganan kuno diperintah oleh seorang Raja bernama Maya Denawa yang sangat kejam. Raja melarang ritual keagamaan dan mengganggap dirinya Tuhan. Mendengar hal ini, para Dewa di Surga murka. Dikirim Dewa untuk membangkitkan Indra dan menghancurkan Maya Denawa. Dengan pertempuran sengit, Maya Denawa akhirnya dikalahkan.