Udara untuk kehidupan, sagu untuk persaudaraan. Begitu melekatnya makanan tradisional ini di kehidupan masyarakat Papua. Sebut saja Papeda-makanan berbahan dasar sagu, menjadi simbol budaya Papua Pesisir.
Sagu- terbuat dari endapan sari pohon sagu, yang diproses secara tradisional. Proses pembuatannya pun masih sederhana. Pohon sagu terpilih ditebang, dengan sebelumnya dibersihkan dari duri serta dahannya. Dilanjutan pengambilan serat serta peramasan.
Tumbuhan pesisir ini terbagi menjadi dua berdasarkan lokasi hidupnya, yaitu sagu di rawa dan sagu di daratan. Sagu merah dihasilkan oleh pohon yang mendiami daerah rawa, sedangkan sagu putih untuk yang hidup di daratan. Karakteristik biologisnya juga terbagi atas sagu berduri dan tidak berduri. Namun demikian, tidak ada perbedaan rasa untuk hal ini. Sagu tetap dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat Papua Pesisir.
Mawas Wanoman
Tokok Sagu atau biasa disebut dengan Mawas Wanoman oleh suku Maerasi, dimulai dengan menyiapkan Oere (alat penokok sagu). Oere terbuat dari pohon sagu itu sendiri, yang dibentuk seperti palu. Fungsinya, untuk memukul batang sagu hingga serat-serat halusnya terpisah. Serat itulah yang akan menghasilkan sagu. Menurut Bapak Yustus Wejanggae (39 tahun), waktu mawas wanoman tergantung dari jumlah pekerja. Untuk satu pohon, bisa dikerjakan dalam waktu tiga sampai tujuh hari. Jika dikerjakan banyak orang, batang sagu dibelah menjadi dua (antero) namun jika dikerjakan sendiri batang akan dibagi menjadi 3 bagian.
Tokok sagu ini dikerjakan langsung di lokasi penebangan. Pembuatan para-para (tempat duduk) menggunakan bahan yang tersedia di alam. Bunyi Oere bertalu-talu menghasilkan serat-serat halus yang siap diramas.
Mawas Fuseman
Ramas sagu atau mawas fuseman-proses pemerasan serat menjadi pati sagu. Di suku Maerasi, Teluk Triton, terdapat beberapa tempat yang biasanya digunakan untuk lokasi pengambilan pohon sagu. Salah satunya di Wawena kampung Lobo. Lokasi ini sangat dekat dengan pantai atau artinya sagu yang dihasilkan akan berwarna merah. Begitu juga dengan peralatan yang digunakan, masih tercium aroma pantainya. Mawas ambir (pelepah sagu) digunakan sebagai wadah mawas fuseman. Dengan ditopang dua bilah kayu diameter 5 cm di belakang, serta diselonjorkan kearah depan mengerucut ke wadah penampungan yang ditopang tiga bilah kayu. Tak lupa, ujungnya ditutup oleh jarring halus sebagai jembatan bulir-bulir pati. Ada juga Kole-kole (sampan yang terbuat dari satu buah pohon utuh) berfungsi sebagai wadah penampung air perasan serat sagu yang mengandung pati. Terdapat juga jaring halus, tomang (wadah yang terbuat dari daun sagu), ember besar, gayung serta pelangkapnya yaitu air tawar.
Mawas fuseman dimulai dengan membasahi serat halus sagu sambil diremas-remas menggunakan tangan. Proses ini dilakukan secara berulang-ulang, sampai pati keluar dan tergerus. Aliran pati bermuara dan mengendap di dasar kole-kole membentuk sagu siap digunakan. “ Tidak ada tanda dan waktu khusus memeras sagu, semua berdasarkan pengalaman saja”, ujar Yakomina sambil tersenyum. Beliau juga menambahkan, dalam satu hari bisa terisi dua buah tomang. Sedangkan, satu pohon dapat menghasilkan delapan sampai duabelas tomang. Satu tomang sagu dihargai Rp 150.000 sampai Rp. 200.000.
Sagu akan bertahan tiga bulan didalam tomang. Untuk pengawetannya cukup dengan merendam pati sagu didalam air tiap satu bulan sekali.
Sagu
Tumbuhan pesisir ini bernama latin Metroxylon sagu. Sagu merupakan makanan pokok bagi masyarakat di Papua dan Maluku. Tanaman sagu tumbuh secara alami terutama di daerah dataran atau rawa dengan sumber air yang melimpah. Hampir 50 % tanaman sagu dunia terdapat di Indonesia, dengan 90% jumlah tersebut tersebar di Papua dan Maluku.
Di daerah di Indonesia Timur, masyarakat mengonsumsi sagu dalam makanan sehari-hari. Misalnya saja, Ambon terkenal dengan sinole atau bubur sagu dari Maluku yang berbahan dasar sama. Keunikan corak budaya kuliner Indonesia memiliki persamaan dengan perbedaan warna.
Di Kaimana, Papua Barat-pembuatan sagu banyak ditemui di kampung-kampung Distrik. Itupun jumlahnya semakin berkurang. Gempuran pembangunan mendesak bibir pantai bersahabat dengan tembok-tembok. Pemukiman penduduk juga ikut merambah habitat pohon sejuta manfaat ini. Kearifan lokal lah, yang menyelamatkan kelestarian kuliner daerah yang tertanan di kehidupan budaya Mawas Wanoman ini.
Hayoooo…berani makan papeda ga..? Demi persaudaraan lho..:p
Ha..ha.. Pace, jangan ajak2 sa kah? sedikit boleh lah