Perjalanan ke Tanah Batak Toba

Setiap perjalanan memberikan udara baru yang tertulis dalam imajinasi. Yang mana akan membangkitkan inspirasi yang tidak terbendung untuk diceritakan. Perjalanan ini bukan perjalanan wisata untuk mengunjungi objek wisata. Akan tetapi, perjalanan mencari makna dari sebuah tujuan wisata itu sendiri.

Perjalanan ke tanah Batak Toba, mengukir cerita buat saya, tentang mereka yang ditemui di sepanjang cerita ini. Tentang rangkaian episode keseharian yang membentuk Budaya

Waraia, Penghubung Pesan di Lingkar Nadi

Ibarat sebuah kehidupan, denyut nadilah yang menjadi penghubungnya. Begitu pula Waraia bagi penduduk di pesisir Papua Barat. Waraia disimbolkan sebagai sebuah gelang, seikat anyaman kulit kayu, yang melingkar di pergelangan tangan penanda penyampaian pesan negeri. Tradisi yang bangkit dari kearifan lokal masyarakat pesisir Kaimana di Papua Barat ini sudah hadir sejak lama. Tidak bisa dipastikan awalnya, hanya saja tradisi ini masih bertahan hingga hari ini.

Waraia merupakan cara penyampaian pesan yang digunakan oleh suku Maerasi yang mendiami Teluk Triton, Kaimana, Papua Barat. Keterbatasan alat komunikasi merupakan latar belakang mengapa Waraia dipilih sebagai penyambung lidah. Proses penyampaian pesan ini sederhana, yaitu pengirim mengikatkan gelang Waraia ke perantara sambil menyebutkan pesan dan alamat penerima pesan. Pesan akan disampaikan ketika perantara bertemu muka dengan penerima. Ketika tali pengikat diputus atau dilepaskan, maka pesan akan disampaikan. Hanya saja, jika tidak bertemu dengan penerima maka pesan tidak akan disampaikan  dan gelang akan dibawa  kembali ke pengirim.

Waraia, gelang pembawa pesan yang terbuat dari kulit kayu Ombese.

Waraia, gelang pembawa pesan yang terbuat dari kulit kayu Ombese.

“Gelang Waraia terbuat dari seikat kulit kayu Ombese yang dianyam,” ujar Ais sambil memperlihatkan seutas gelang waraia yang masih melekat di tangan kirinya. Tidak ada alasan spesifik mengenai pemilihan kulit kayu Ombese untuk digunakan sebagai gelang Waraia. “Pemilihan hanya berdasarkan kertersediaan sumberdaya alam yang ada di sekitar saja,” sambil tersenyum hangat lelaki bertubuh besar ini menjelaskan.

Dahulu, Waraia digunakan oleh tokoh adat untuk menyampaikan pesan ke desa-desa di sekitar Teluk Triton. Dengan perkembangan waktu, tradisi ini mulai banyak digunakan secara luas dalam kehidupan bermasyarakat, seperti penyampaian pesan dari seorang istri kepada suaminya yang sedang melaut. Tradisi yang bangkit dari kepercayaan nenek moyang masih dilestarikan dan mengalir dalam denyut nadi masyarakat Maerasi.

Nadi sumber kehidupan bagi manusia. Di sana jalur darah akan dipompa ke jantung.  Sama halnya dengan Waraia yang merupakan sebaris warisan kepercayaan masyarakat untuk sebuah amanat.